Sistem akreditasi institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi tolok ukur kualitas, kini memicu perdebatan serius. Pertanyaan fundamentalnya adalah: apakah akreditasi berfungsi sebagai pengakuan atau peningkatan? Seharusnya, akreditasi adalah proses yang mendorong sekolah untuk terus berbenah dan meningkatkan standar, namun realitas di lapangan kerap menunjukkan bahwa akreditasi lebih sering dipersepsikan sebagai sekadar cap atau pengakuan semata. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang validitas proses penilaian dan dampak sebenarnya terhadap mutu pendidikan.
Perdebatan mengenai pengakuan atau peningkatan ini menjadi sangat relevan ketika melihat kasus-kasus di mana sekolah mendapatkan nilai akreditasi tinggi tanpa kunjungan asesor yang memadai, seperti yang pernah dialami oleh sebuah sekolah yang dibahas dalam Kompas.com pada Agustus 2024. Insiden semacam ini mempertanyakan seberapa akurat evaluasi akreditasi dalam mencerminkan kondisi riil di lapangan. Jika akreditasi hanya didasarkan pada data digital tanpa verifikasi langsung, maka hasilnya bisa jadi tidak merepresentasikan kualitas sebenarnya dari proses belajar-mengajar, fasilitas, atau kompetensi guru.
Lebih jauh, gagasan pengakuan atau peningkatan ini juga terkait dengan bagaimana hasil akreditasi memengaruhi dukungan yang diterima sekolah. Sebuah sekolah dengan akreditasi A kadang justru kesulitan mendapatkan bantuan infrastruktur yang sangat dibutuhkan, karena dianggap sudah “bagus”. Padahal, fasilitas yang memadai—seperti perpustakaan, ruang ibadah, atau kelas yang layak—adalah elemen krusial untuk mendukung pembelajaran yang efektif. Jika akreditasi tidak secara jujur mencerminkan kebutuhan ini, maka ia gagal dalam perannya sebagai alat untuk peningkatan. Seharusnya, akreditasi menjadi dasar bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mengalokasikan sumber daya secara tepat sasaran, bukan justru menghambat.
Maka dari itu, pengakuan atau peningkatan dalam konteks akreditasi harus diartikan sebagai sebuah proses holistik yang melampaui sekadar skor numerik. Akreditasi harus menjadi mekanisme yang memberikan umpan balik konstruktif, mendorong perbaikan berkelanjutan, dan memastikan bahwa setiap satuan pendidikan memiliki fasilitas serta kualitas pengajaran yang memadai. Ini berarti evaluasi harus komprehensif, mempertimbangkan kebutuhan spesifik setiap sekolah, dan tidak hanya terpaku pada data digital.
Pada akhirnya, akreditasi harus bertransformasi menjadi sebuah alat yang benar-benar mendorong peningkatan kualitas pendidikan secara merata. Ini bukan hanya tentang mendapatkan cap “A”, melainkan tentang bagaimana proses akreditasi mampu memfasilitasi sekolah untuk terus berbenah, berinovasi, dan memberikan yang terbaik bagi para peserta didik.