Daya juang mahasiswa dalam menuntut perubahan di ranah edukasi kian menjadi sorotan, menunjukkan bahwa generasi muda memiliki kesadaran kritis dan kepedulian mendalam terhadap kualitas pendidikan di Tanah Air. Dengan berbagai bentuk aksi, mulai dari diskusi akademis hingga protes damai, mereka menyuarakan aspirasi demi terciptanya sistem pendidikan yang lebih adil, relevan, dan berpihak pada kepentingan mahasiswa.
Fenomena ini mencerminkan bahwa mahasiswa tidak lagi pasif dalam menerima kebijakan, melainkan aktif mengawal dan mengadvokasi perubahan. Isu-isu yang diangkat pun beragam, mulai dari transparansi biaya pendidikan, kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan industri, fasilitas kampus yang kurang memadai, hingga persoalan kebebasan akademik. Pada bulan Mei 2025, misalnya, sebuah aliansi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta menggelar mimbar bebas menuntut penurunan dan transparansi Uang Kuliah Tunggal (UKT), menarik perhatian publik dan pihak rektorat.
Media sosial memainkan peran krusial dalam mengamplifikasi daya juang mahasiswa. Platform digital seperti Instagram, X (sebelumnya Twitter), dan TikTok menjadi sarana efektif untuk mengorganisir massa, menyebarkan informasi, dan membangun narasi yang kuat. Melalui tagar-tagar yang viral dan konten kreatif, pesan mereka dapat menjangkau khalayak luas, menekan pihak berwenang untuk merespons tuntutan. Kepala Humas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Dr. Dwi Cahyo, dalam pernyataan resminya pada 15 Mei 2025, mengakui bahwa partisipasi aktif mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi adalah bagian penting dari demokrasi pendidikan.
Di tingkat global, daya juang mahasiswa juga memiliki sejarah panjang dalam mendorong perubahan sosial dan politik. Dari gerakan hak sipil di Amerika Serikat hingga reformasi politik di berbagai negara, mahasiswa seringkali menjadi garda terdepan perubahan. Di Indonesia, semangat ini terwarisi dari peran mahasiswa dalam pergerakan kemerdekaan dan reformasi 1998. Gerakan mahasiswa saat ini mungkin berbeda bentuk, namun esensinya tetap sama: menjadi agen kontrol sosial dan pendorong kemajuan.
Penting bagi institusi pendidikan dan pemerintah untuk memandang daya juang mahasiswa ini sebagai kekuatan positif. Alih-alih membungkam, dialog yang konstruktif dan kesediaan untuk mendengarkan aspirasi mahasiswa akan menjadi kunci. Dengan melibatkan mahasiswa dalam perumusan kebijakan, sistem pendidikan dapat menjadi lebih responsif, inklusif, dan mampu menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan keberanian untuk membawa perubahan.